PULUHAN sepeda motor skutik berjajar rapih di sisi jalan. Kuda besi yang mayoritas berwarna putih itu terparkir di depan sebuah kedai sederhana di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan.
Malam itu lalu lintas jalan di kawasan Manggarai masih cukup ramai dengan sepeda motor sebagai kontributor utama. Jarum jam menunjukan sekitar pukul 21.00 WIB. Kawasan ini merupakan salah satu jalur melintas para warga Jakarta menuju ke tengah kota, terutama dari kawasan pinggiran Jakarta Timur. Dari Manggarai, para penglaju bisa menuju pusat bisnis di Kuningan, Jakarta Selatan maupun ke Sudirman dan Thamrin, Jakarta Pusat.
Tak heran jika di kawasan ini juga dibangun stasiun kereta api Manggarai yang menampung para komuter dari Bogor dan Depok, serta Bekasi. Selain itu, tersedia terminal bus yang siap mengangkut warga Jakarta, Bogor, dan Bekasi untuk melaju ke lokasi masing-masing.
“Kami memilih Manggarai sebagai lokasi kopi darat santai (kopsan) kali ini karena cukup nyaman dan dapat dengan mudah diakses banyak anggota White Max Owner (Whimo),” kata bro Friadi, saat berbincang dengan saya, Rabu, 26 Juli 2017 malam.
Saat itu, dia mengundang saya untuk bertukar pikiran dan berbagi seputar masalah keselamatan berlalu lintas jalan (road safety). Khususnya mengenai bagaimana berkendara secara berkelompok saat touring, termasuk bagaimana manajemen touring agar lebih aman, nyaman, dan selamat. “Soalnya, kemarin saat Whimo touring dari Jakarta ke Pangandaran, terjadi kecelakaan walau tidak parah,” sergahnya.
Sekitar dua puluhan anggota Whimo dari Jakarta dan Bogor duduk rapih. Saya membuka ajang tukar pikiran dengan paparan fakta data sekaligus sejumput tips berlalu lintas jalan yang aman dan selamat. Fakta data memperlihatkan bahwa 70-an jiwa tewas setiap hari akibat kecelakaan. Sedangkan mayoritas kendaraan yang terlibat masih didominasi sepeda motor. Kendaraan yang menjadi favorit warga termasuk komunitas Whimo.
“Berapa kecepatan ideal saat kita touring keluar kota?” tanya salah seorang anggota Whimo.
Urusan batas kecepatan sebenarnya sudah diatur dalam Undang Undang (UU) No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). UU tersebut diterjemahkan dalam peraturan pemerintah (PP) No 79 tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diterbitkan pada 10 Desember 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nah, saat era Presiden Joko Widodo, menteri perhubungan yang kala itu dijabat Ignatius Jonan menelorkan Permenhub No 11 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. “Regulasi yang berlaku saat ini membatasi kecepatan maksimal adalah 50 kilometer per jam (kpj) untuk di dalam kota, sedangkan antar kota sebesar 80 kpj,” tutur saya mengutip regulasi tersebut.
Masalah batas kecepatan maksimal menjadi penting diperhatikan, terlebih ketika touring yang umumnya berkelompok. Formasi berkendara juga perlu diperhatikan apakah zig-zag, formasi satu, atau formasi dua alias sejajar. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana mengatur jarak aman berkendara di jalan raya.
Khusus mengenai menjaga jarak aman berkendara saya paparkan seperti tabel yang satu ini. Tabel kecepatan ini dilansir oleh kementerian perhubungan.
Disebutkan bahwa jarak antar kendaraan menjadi salah satu hal yang mesti diwaspadai tiap pengemudi. Terutama saat kondisi jalan licin akibat hujan atau sewaktu kondisi lalu lintas sedang padat. Benturan mendadak antar kendaraan sangat mungkin terjadi karena jarak yang terlalu dekat. Demikian pula ketika menjumpai jalur menanjak. Menjaga jarak antara satu kendaraan dengan lainnya merupakan langkah bijak demi keselamatan perjalanan.
Ada dua macam jarak yang harus diperhatikan, yakni jarak minimal dan jarak aman. Jarak minimal adalah jarak paling dekat yang tidak boleh dilewati antara mobil belakang dengan depannya. Jenis jarak ini belum tentu aman, dan pengemudi harus berhati-hati apabila terjadi pengereman mendadak dari kendaraan di depannya.
Sedangkan jarak aman adalah jarak yang paling disarankan. Terutama, saat melaju di jalanan basah. Pengereman di jalan basah butuh waktu lebih lama dibandingkan pada jalan yang kering.
“Bagaimana menjaga jarak aman tiga detik saat di jalan?” tanya anggota Whimo yang lain.
Ya. Patokan memberi rentang tiga detik antar kendaraan sejatinya mirip dengan tabel versi Kemenhub di atas. Walau, tantangannya adalah ketika seorang pengendara menerapkan pola tiga detik, tiba-tiba diserobot oleh pengendara lain. “Hal ini menunjukan bahwa sang penyerobot tak memahami atau tidak mau tahu soal jarak aman ketika berkendara,” tegas saya.
Banyak aspek lain dalam ajang tukar pikiran di Kopsan Whimo malam itu. Termasuk misalnya soal bagaimana menikung yang aman dan selamat hingga pentingnya melakukan sinergi antar kelompok masyarakat maupun para pemangku kepentingan keselamatan jalan dalam memangkas fatalitas kecelakaan.
“Kami ingin agar saat berlalu lintas jalan selalu aman dan selamat. Whimo ingin berpartisipasi,” tutur bro Friadi.
Ok bro, saya dukung. (edo rusyanto)